DOWNLOAD MATERI PEDAGOGIK 3 PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPGJ 2018
DOWNLOAD MATERI PEDAGOGIK 4 PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPGJ 2018
Apabila ada kendala dalam proses mendownload silahkan baca tutorialnya KLIK DISINI.
dan jangan sungkan untuk bertanya apabila ada kendala. Silahkan bertanya di kolom komentar.
DOWNLOAD MATERI PEDAGOGIK 4 PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPGJ 2018
Apabila ada kendala dalam proses mendownload silahkan baca tutorialnya KLIK DISINI.
dan jangan sungkan untuk bertanya apabila ada kendala. Silahkan bertanya di kolom komentar.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
I. PENGERTIAN, FUNGSI, DAN PERANAN KURIKULUM
A. Pengertian
Kurikulum adalah suatu rencana pendidikan, yang memberikan
pedoman tentang jenis, lingkup, urutan isi, serta proses pendidikan. Dengan
program itu para siswa melakukan berbagai kegiatan belajar sehingga terjadi
perubahan dan perkembangan tingkah laku pada dirinya. Kurikulum sebagai rencana
pembelajaran juga diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
B. Fungsi
1. Fungsi penyesuaian
Kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan
peserta didik agar memilki sifat untuk mampu menyesuaikan dengan
llingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial.
2. Fungsi pengintegrasian
Kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan
pribadi-pribadi yang utuh, dalam hal ini orientasi dan fungsi kurikulum adalah
mendidik peserta didik agar memilki pribadi yang integral. Siswa pada dasarnya
merupakan anggota dan bagian integral dari masyarakat.
3. Fungsi perbedaan
Kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan
pelayanan terhadap perbedaan individu peserta didik.
4. Fungsi persiapan
Kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan
peserta didik agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkauan
yang lebih jauh, baik dalam memasuki pendidikan yang lebih tinggi ataupun dalam
memasuki kehidupan dalam masyarakat.
5. Fungsi pemilihan
Kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan
kesempatan kepada peserta didik dalam memilih programprogram belajar sesuai
dengan kemampuan dan minatnya.
6. Fungsi diagnostic
Kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan
mengarahkan peserta didik untuk dapat memahami kemampuan dan potensi yang ada
dalam dirinya.
C. Peranan
1. Peranan konservatif
Peranan konservatif menekankan bahwa kurikulum dapat dijadikan
sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang
dianggap masih relevan dengan masa kini kepada anak didik sebagai generasi
penerus.
2. Peranan kreatif
Perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek-aspek lainnya senantiasa
terjadi setiap saat. Kurikulum melakukan kegiatankegiatan kreatif dan
konstruktif, dalam arti menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan
sesuatu yang baru. Kurikulum harus dapat membantu setiap peserta didik dalam
mengembangakan potensi dirinya.
3. Peranan kritis dan
evaluative
Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa
nilainilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami
perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada peserta
didik perlu disesuaikan kondisi yang ada di masa sekarang.
II. LANDASAN DAN PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Landasan Pengembangan Kurikulum
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman
karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis
pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta
status sosial ekonomi dan gender.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan.
6. Belajar sepanjang hayat, diarahkan kepada proses
pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
B. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum
1. Ilmiah
Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam
kurikulum harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Dalam
konteks Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, fakta, konsep, prinsip dan
prosedur yang termuat dalam silabus harus benar dan sesuai dengan kaidah-kaidah
yang berlaku umum dalam bidang ilmu tersebut. Penggunaan istilah, notasi atau
lambang untuk menunjuk objek tertentu, hendaknya sesuai dengan istilah, notasi
atau lambang yang umum dan lazim digunakan dalam bahasa dan sastra Indonesia.
2. Konsisten
Adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara
kompetensi dasar, indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber
belajar, serta teknik dan instrumen penilaian. Dengan prinsip konsistensi ini,
pemilihan materi pembelajaran, penetapan strategi dan pendekatan dalam kegiatan
pembelajaran, penggunaan sumber dan media pembelajaran, serta penetapan teknik
dan penyusunan instrumen penilaian semata-mata diarahkan pada pencapaian
kompetensi dasar dalam rangka pencapaian standar kompetensi.
3. Relevan
Pengembangan kurikulum harus memiliki kesesuaian di antara
komponen-komponennya, seperti tujuan, bahan, strategi, dan evaluasi.
Pengembangan kurikulum juga harus relevan dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan
teknologi, potensi peserta didik, serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan
masyarakat (relevansi sosilogis). Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, dan
urutan penyajian materi dalam kurikulum juga harus disesuaikan dengan tingkat
perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spritual siswa.
Prinsip ini mendasari pengembangan kurikulum, baik dalam
pemilihan materi pembelajaran, strategi dan pendekatan dalam
kegiatan pembelajaran, penetapan waktu, strategi penilaian maupun dalam
mempertimbangkan kebutuhan media dan alat pembelajaran.
4. Ketercukupan
Cakupan indikator, materi pelajaran, kegiatan pembelajaran,
sumber belajar, dan sistem penilaian cukup untuk menunjang pencapaian
kompetensi dasar. Dengan prinsip ini, maka tuntutan kompetensi harus dapat
terpenuhi dengan pengembangan materi pelajaran dan kegiatan pembelajaran yang
dikembangkan. Sebagai contoh, jika standar kompetensi dan kompetensi dasar
menuntut kemampuan menganalisis suatu obyek belajar, maka materi pelajaran,
kegiatan pembelajaran, dan teknik serta instrumen penilaian harus secara
memadai mendukung kemampuan itu.
5. Menyeluruh
Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi, baik
pengetahuan, sikap, maupun praktik (psikomotor). Prinsip ini hendaknya
dipertimbangkan, baik dalam mengembangkan materi pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, maupun penilaiannya.
Kegiatan pembelajaran dalam silabus perlu dirancang sedemikian
rupa sehingga peserta didik memiliki keleluasaan untuk mengembangkan
kemampuannya, bukan hanya kemampuan kognitif saja, melainkan juga dapat
mempertajam kemampuan afektif dan psikomotoriknya, serta dapat secara optimal
melatih kecakapan hidup (lifeskill).
6. Fleksibel
Pengembangan kurikulum harus bersifat luwes dalam
pelaksanaannya; memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan
zaman. Keseluruhan komponen dalam kurikulum juga mengakomodasi keragaman
peserta didik, pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan
kebutuhan masyarakat.
7. Aktual dan Kontekstual
Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber
belajar, dan sistem penilaian memerhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan
seni mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi. Banyak
fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi dan dapat
mendukung kemudahan dalam menguasai kompetensi perlu dimanfaatkan dalam
pengembangan pembelajaran. Di samping itu, penggunaan media dan sumber belajar
berbasis teknologi informasi, seperti komputer dan internet perlu dioptimalkan.
8. Kontinuitas, pengembangan kurikulum harus memerhatikan
kesinambungan, antara tingkat kelas, antara jenjang pendidikan, maupun
kontribusi dengan jenis pekerjaan.
III. TEORI BELAJAR
A. Teori Belajar Behaviorisme
Teori belajar tingkah laku (behaviorisme) memandang belajar
sebagai hasil dari pembentukan hubungan antara rangsangan dari luar (stimulus)
seperti ‘2 + 2’ dan balasan dari siswa (response) seperti ‘4’ yang dapat
diamati. Semakin sering hubungan (bond) antara rangsangan dan balasan terjadi,
maka akan semakin kuatlah hubungan keduanya (law of exercise). Para penganut
teori belajar tingkah laku ini berpendapat bahwa batu saja akan berlubang jika
ditetesi air terus menerus. Thorndike menyatakan kuat tidaknya hubungan
ditentukan oleh kepuasan maupun ketidakpuasan yang menyertainya (law of
effect). Itulah sebabnya, dua kata kunci menurut para penganutnya selama proses
pembelajaran adalah ‘latihan’ dan ‘ganjaran/ penguatan’. Teori ini
menitikberatkan pada perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengulangan.
Ganjaran atau penguatan pada binatang ditunjukkan dengan pemberian sesuatu jika
ia dapat menyelesaikan tugasnya, sehingga binatang tersebut akan mengulangi
kegiatannya. Para siswa akan sangat senang dan merasa dihargai jika mereka
mendapat hadiah ketika mereka dapat melaksanakan tugas dengan baik, sehingga
mereka akan berusaha untuk melakukan hal yang sama. Namun jika mereka melakukan
hal yang salah maka mereka harus mendapat hukuman agar ia tidak melakukan hal itu
lagi. Teori belajar tingkah laku ini menekankan adanya ganjaran (reward) atau
penguatan (reinforcement). Semakin banyak ganjaran yang diberikan maka respon
yang diharapkan dari siswa akan lebih baik. Selain itu, jika respon siswa di
luar yang diinginkan maka diperlukan adanya konsekuensi hukuman (punishment)
sebagai stimulus agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada
atau, dengan kata lain, agar perilaku siswa sesuai yang diinginkan. Khusus
untuk punishment ini, beberapa tokoh teori tingkah laku, misalnya Skinner,
memiliki perbedaan pendapat, khususnya karena dampak yang kurang baik. Skinner
memberikan alternatif yaitu digunakannya penguatan negatif (negative
reinforcement). Pada masa kini, teori belajar yang dikemukakan penganut psikologi
tingkah laku ini cocok digunakan untuk mengembangkan kemampuan siswa yang
berhubungan dengan pencapaian hasil belajar (pengetahuan) matematika seperti
fakta, konsep, prinsip, dan skill (keterampilan).
B. Teori Belajar Kognitif
1. Psikologi Perkembangan Kognitif Piaget
Menurut Piaget, struktur kognitif atau skemata (schema) adalah
suatu organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada saat orang itu
berinterkasi dengan lingkungannya. Dua proses yang sangat penting adalah
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah suatu proses di mana suatu informasi
atau pengalaman baru dapat disesuaikan dengan kerangka kognitif yang sudah ada
di benak siswa; sedangkan akomodasi adalah suatu proses perubahan atau
pengembangan kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa agar sesuai dengan
pengalaman yang baru dialami. Sejalan dengan itu, Ausubel menginginkan proses
pembelajaran di kelas-kelas adalah suatu pembelajaran yang bermakna (meaningful
learning) yaitu suatu pembelajaran di mana pengetahuan atau pengalaman yang
baru dapat terkait dengan pengetahuan lama yang sudah ada di dalam struktur
kognitif seseorang. Untuk membantu terjadinya pembelajaran bermakna, Bruner
menyarankan agar proses pembelajaran melalui tiga tahap, yaitu tahap enaktif,
tahap ikonik, dan tahap simbolik.
Empat tahap perkembangan kognitif siswa menurut Piaget adalah
(1) tahap sensori motor (0–2 tahun), (2) tahap pra-operasional (2–7 tahun), (3)
tahap operasional konkret (7–11 tahun), dan (4) tahap operasional formal (11
tahun ke atas).
Pada tahap sensori motor (0-2 tahun) seorang anak akan belajar
untuk menggunakan dan mengatur kegiatan fsik dan mental menjadi rangkaian
perbuatan yang bermakna. Pada tahap ini, pemahaman anak sangat bergantung pada
kegiatan (gerakan) tubuh dan alat-alat indera mereka. Pada tahap
pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal
khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia belum mampu
untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten. Pada
tahap operasional konkret (7-11 tahun), umumnya anak sedang menempuh pendidikan
di sekolah dasar. Di tahap ini, seorang anak dapat membuat kesimpulan dari
suatu situasi nyata atau dengan menggunakan benda konkret, dan mampu
mempertimbangkan dua aspek dari suatu situasi nyata secara bersamasama
(misalnya, antara bentuk dan ukuran). Pada tahap operasional formal (lebih dari
11 tahun), kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda nyata.
Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam perkembangan kognitif.
2. Belajar Bermakna David P. Ausubel
Teori belajar Ausubel menitikberatkan pada bagaimana seseorang
memperoleh pengetahuannya. Menurut Ausubel terdapat 2 jenis belajar yaitu
belajar hafalan (rote-learning) dan belajar bermakna (meaningfullearning). Jika
seorang siswa berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang
satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat
dinyatakan sebagai hafalan (rote) dan tidak akan bermakna (meaningless) sama
sekali baginya. Pembelajaran yang mengacu pada ‘belajar bermakna’ atau
‘meaningful-learning’ adalah pembelajaran di mana pengetahuan atau pengalaman
baru yang akan dipelajari siswa dapat terkait dengan pengetahuan lama yang
sudah dimiliki siswa.
3. Teori Presentasi Bruner
Bruner membagi penyajian proses pembelajaran dalam tiga tahap,
yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Pada tahap enaktif, para siswa
dituntut untuk mempelajari pengetahuan dengan menggunakan sesuatu yang
“konkret” atau “nyata” yang berarti dapat diamati dengan menggunakan panca
indera. Contohnya, ketika akan membahas geometri ruang di awal pembelajaran,
guru dapat menggunakan alat peraga maupun barang sehari-hari semisal kaleng,
dus, dll. Pada tahap ikonik, yakni setelah mempelajari pengetahuan dengan benda
nyata atau benda konkret, tahap berikutnya adalah tahap ikonik, dimana para
siswa mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram sebagai
perwujudan dari kegiatan yang menggunakan benda konkret atau nyata tadi. Pada
tahap simbolik para siswa harus melewati suatu tahap dimana pengetahuan
tersebut diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol abstrak. Dengan kata lain, siswa
harus mengalami proses berabstraksi. Berabstraksi terjadi pada saat seseorang
menyadari adanya kesamaan di atara perbedaan-perbedaan yang ada.
C. Teori Belajar Konstruktivisme
1. Model Penemuan
Bruner berpendapat bahwa belajar dengan penemuan adalah belajar
untuk menemukan (learning by discovery is learning to discover). Ada dua model
penemunaan, yaitu model penemuan murni dan model penemuan terbimbing. Model
penemuan yang dapat dikembangkan di kelas adalah model penemuan terbimbing di
mana para siswa dihadapkan dengan situasi di mana ia bebas untuk mengumpulkan
data, membuat dugaan (hipotesis), mencoba-coba (trial and error), mencari dan
menemukan keteraturan (pola), menggeneralisasi atau menyusun rumus beserta
bentuk umum, membuktikan benar tidaknya dugaannya itu. Berbeda dengan model
penemuan murni di mana mulai dari pemilihan strategi sampai pada jalan dan
hasil penemuan ditentukan para siswa sendiri maka pada penemuan terbimbing ini,
para guru bertindak sebagai penunjuk jalan, ia membantu dan memberi kemudahan
bagi para siswanya sedemikian rupa sehingga mereka dapat mempergunakan idea,
konsep dan ketrampilan yang sudah dia pelajari untuk menemukan pengetahuan yang
baru. Penggunaan serangkaian pertanyaan yang tepat akan sangat membantu siswa
untuk menemukan pengetahuan yang baru berdasar pada pengetahuan lama yang
dipunyainya.
2. Model Saintifk
Pendekatan saintifk meliputi lima pengalaman belajar sebagaimana
dijelaskan berikut ini.
a. Mengamati (observing) di mana siswa
difasilitasi untuk mengamati dengan indra (membaca, mendengar, menyimak,
melihat, menonton, dan sebagainya) dengan atau tanpa alat.
b. Menanya (questioning) di mana siswa
difasilitasi untuk membuat dan mengajukan pertanyaan, tanya jawab, berdiskusi
tentang informasi yang belum dipahami, informasi tambahan yang ingin diketahui,
atau sebagai klarifkasi.
c. Mengumpulkan informasi/mencoba (experimenting) di mana siswa
difasilitasi untuk mengeksplorasi, mencoba, berdiskusi, mendemonstrasikan,
meniru bentuk/gerak, melakukan eksperimen, membaca sumber lain selain buku
teks, mengumpulkan data dari nara sumber melalui angket, wawancara, dan
memodifkasi/ menambahi/ mengembangkan.
d. Menalar/mengasosiasi (associating) di mana siswa difasilitasi
untuk mengolah informasi yang sudah dikumpulkan, menganalisis data dalam bentuk
membuat kategori, mengasosiasi atau menghubungkan fenomena/informasi yang
terkait dalam rangka menemukan suatu pola, dan menyimpulkan.
e. Mengomunikasikan (communicating) di mana siswa difasilitasi
untuk menyajikan laporan dalam bentuk bagan, diagram, atau grafk; menyusun
laporan tertulis; dan menyajikan laporan meliputi proses, hasil, dan kesimpulan
secara lisan.
III. PRINSIP-PRINSIP BELAJAR
Dalam perencanaan pembelajaran, prinsip-prinsip belajar dapat
mengungkap batas-batas kemungkinan dalam pembelajaran. Dalam melaksanakan
pembelajaran, pengetahuan tentang teori dan prinsip-prinsip belajar dapat
membantu guru dalam memilih tindakan yang tepat.
Dari berbagai prinsip belajar tersebut terdapat beberapa prinsip
yang relatif berlaku umum yang dapat digunakan sebagai dasar dalam upaya
pembelajaran sebagai berikut.
A. Perhatian dan Motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar.
Dari kajian belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian
tak mungkin terjadi belajar (Gage dan Berliner, 1984: 355). Di samping
perhatian, motivasi mempunyai peranan penting
dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan
dan mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi dapat dibandingkan dengan mesin
dan kemudi pada mobil (Gage dan Berliner, 1984: 372).
B. Keaktifan
Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan
dan aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga
tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila
anak aktif mengalami sendiri.
C. Keterlibatan langsung/Berpengalaman
Belajar adalah mengalami, belajar tidak bisa dilimpahkan kepada
orang lain. Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman belajar yang dituangkan
dalam kerucut pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah
belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung
siswa yang tidak hanya mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati,
terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya.
D. Pengulangan
Pada teori Psikologi Asosiasi atau Koneksionisme mengungkapkan
bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan
pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya
respons benar. Pengulangan dalam belajar akan melatih daya-daya yang ada pada
manusia yang terdiri atas daya mengamat, menanggap, mengingat, mengkhayal,
merasakan, hingga berpikir yang akan membuat daya-daya tersebut berkembang.
E. Tantangan
Dalam situasi belajar, siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin
dicapai. Namun selalu terdapat hambatan, yaitu mempelajari bahan belajar.
Timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu, yaitu dengan mempelajari bahan
belajar tersebut.
F. Balikan atau Penguatan
Siswa belajar sungguh-sungguh dan mendapatkan nilai yang baik
dalam ulangan. Nilai yang baik itu mendorong anak untuk belajar lebih giat
lagi. Nilai yang baik dapat merupakan operant conditioning atau penguatan
positif. Sebaliknya, anak yang mendapatkan nilai yang jelek pada waktu ulangan
akan merasa takut tidak naik kelas, karena takut tidak naik kelas ia terdorong
untuk belajar lebih giat. Inilah yang disebut penguatan negatif.
G. Perbedaan Individual
Siswa yang merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua
orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang
lainnya. Perbedaan individu ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa
IV. PENDEKATAN, STRATEGI, METODE, DAN TEKNIK
PEMBELAJARAN
Dalam Lampiran 3 Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 (233) pendekatan dimaknai
sebagai cara menyikapi/melihat (a way of viewing); strategi dimaknai
sebagai cara mencapai tujuan dengan sukses (a way of winning the game atau a
way of achieving of objectif); metode dimaknai sebagai cara
menangani sesuatu (a way of dealing). Sedangkan teknik dimaknai
sebagai cara memperlakukan sesuatu (a way creating something); danmodel dimaknai
sebagai kerangka yang berisikan langkah-langkah/uruturutan kegiatan/sintakmatik
yang secara operasional perlu dilakukan oleh guru dan siswa. Dalam referensi
lain dijelaskan bahwa pendekatan adalah titik tolak atau sudut
pandang terhadap proses pembelajaran; metode adalah cara yang digunakan
untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan
nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran; teknik adalah
cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara
spesifk; dan model adalah bentuk pembelajaran yang tergambar
dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru (bungkus atau
bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran).Pendekatan (approach)
merupakan titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Roy
Killen (1998) misalnya, mencatat ada dua pendekatan dalam pembelajaran,
yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centered
approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered
approaches) yang digunakan dalam perancangan kurikulum dan pembelajaran saat
ini. Strategi pembelajaran merupakan perencanaan tindakan
(rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber
daya atau kekuatan dalam pembelajaran yang disusun untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Sedangkan metodemerupakan upaya untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan
yang telah disusun tercapai secara optimal. Metode digunakan sebagai cara untuk
melaksanakan dan merealisasikan strategi yang telah ditetapkan. Dalam
mengimplementasikan metode pembelajaran, seorang pendidik perlu
menetapkan teknik atau cara tertentu agar proses pembelajaran
berjaan efektif dan efsien, serta taktik atau gaya individu dalam melaksanakan
suatu teknik atau metode tertentu misalnya dalam menggunakan ilustrasi atau
menggunakan gaya bahasa atau idialek agar materi pembelajaran mudah dipahami.
VI. KRITERIA PENYELEKSIAN DAN PEMILIHAN MATERI
PEMBELAJARAN
1. Sahih (Valid)
Materi yang akan dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah
teruji kebenaran dan kesahihannya. Pengertian ini juga berkaitan dengan
keaktualan materi sehingga materi yang diberikan dalam pembelajaran tidak
ketinggalan jaman dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
2. Tingkat Kepentingan (Significance)
Dalam memilih materi perlu mempertimbangkan pertanyaan berikut:
a. Bagaimana intensitas tingkat kepentingan materi tersebut
sehingga harus dipelajari?
b. Apakah penting materi tersebut diajarkan pada siswa?
c. Dimana letak kepentingan materi tersebut dan mengapa penting?
Dengan demikian, materi yang dipilih untuk diajarkan tentunya
memang yang benar-benar diperlukan oleh siswa.
3. Kebermanfaatan (utility)
Manfaat harus dilihat dari semua sisi, baik secara akademis
maupun nonakademis. Bermanfaat secara akademis artinya guru harus yakin bahwa
materi yang diajarkan dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan
yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan berikutnya.
Bermanfaat secara nonakademis maksudnya bahwa materi yang diajarkan dapat
mengembangkan kecakapan hidup (life skills) dan sikap yang dibutuhkan dalam
kehidupan sehari-hari
4. Layak dipelajari (learnability)
Materinya memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat
kesulitannya (tidak terlalu mudah, atau tidak terlalu sulit), maupun aspek
kelayakannya terhadap pemanfaatan bahan ajar dan kondisi setempat.
5. Menarik minat (interest)
Materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi
siswa untuk mempelajarinya lebih lanjut. Setiap materi yang diberikan kepada
siswa harus mampu menumbuhkembangkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan
dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
B. Pola Pengembangan Materi Pembelajaran
Terdapat beberapa pola pengembangan materi pembelajaran yang
dapat dipilih guru, yakni sebagai berikut.
1. Pola kronologis, susunan materi pembelajaran yang mengandung
urutan waktu.
2. Pola kausal, susunan materi pembelajaran yang mengandung
hubungan sebab-akibat.
3. Pola logis, susunan materi pembelajaran yang dimulai dari
bagian sederhana menuju kepada yang kompleks.
4. Pola psikologis, susunan materi pembelajaran yang dimulai
dari umum ke dalam bagian-bagian yang lebih khusus.
5. Pola spiral, susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada
topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana; kemudian dikembangkan,
diperdalam, dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
6. Pola inquiri atau pemecahan masalah, susunan materi
pembelajaran yang mengarah pada proses penemuan ataupun pemecahan masalah, yang
meliputi langkah-langkah berikut: (a) perumusan masalah, (b) penyusunan
hipotesis, (c) pengumpulan data, (d) pengujian hipotesis, dan (e) perumusan
simpulan.
Sumber Pustaka:
Wibowo, Hari, dkk. 2016. Pengembangan
Kurikulum. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Bahasa, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
__________ 2016. Teori Belajar.
Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Bahasa, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment