DOWNLOAD KUMPULAN SOAL-SOAL PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPGJ 2018
DOWNLOAD 100 SOAL PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPGJ 2018 KLIK DISNI
DOWNLOAD 100 SOAL PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPGJ 2018 KLIK DISNI
DOWNLOAD MATERI PEDAGOGIK 3 PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPGJ 2018
DOWNLOAD MATERI PEDAGOGIK 4 PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPGJ 2018
Apabila ada kendala dalam proses mendownload silahkan baca tutorialnya KLIK DISINI.
dan jangan sungkan untuk bertanya apabila ada kendala. Silahkan bertanya di kolom komentar.
DOWNLOAD MATERI PEDAGOGIK 4 PERSIAPAN UJIAN SELEKSI PPGJ 2018
Apabila ada kendala dalam proses mendownload silahkan baca tutorialnya KLIK DISINI.
dan jangan sungkan untuk bertanya apabila ada kendala. Silahkan bertanya di kolom komentar.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
I.
PERKEMBANGAN
KOGNITIF PESERTA DIDIK
A. Pengertian
Kognitif atau pemikiran adalah istilah yang digunakan oleh ahli psikologi untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya. (Desmita, 2009)
Kognitif atau pemikiran adalah istilah yang digunakan oleh ahli psikologi untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menilai dan memikirkan lingkungannya. (Desmita, 2009)
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Guru harus mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
peserta didik. Yang sangat sentral dalam factor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan kognitif adalah gaya pengasuhan dan lingkungan. Biasanya gaya
pengasuhan lebih diterapkan pada anak-anak. Pada pengasuhan ini merupakan cika
lbakal perkembangan kognitif tersebut, karena ketika anak diasuh secara tidak
sesuai dengan semestinya, ini akan berakibat pada perkembangan kognitif anak,
bahkan pada perkembangan mental anak tersebut. Lingkungan pun sangat
berpengaruh pada perkembangan kognitif, semakin buruk lingkungan maupun
pergaulan seseorang maka kemungkinan pengaruh lingkungan pada perkembangan
kognitif anak semakin besar. (Wibowo, 2016)
C. Tahap-Tahap Perkembangan
Kognitif Peserta Didik
Empat tahap perkembangan kognitif siswa menurut Piaget adalah
sebagai berikut.
1. tahap sensori motor (0–2
tahun)
Pada tahap sensori motor (0-2 tahun) seorang anak akan belajar
untuk menggunakan dan mengatur kegiatan fIsik dan mental menjadi rangkaian
perbuatan yang bermakna. Pada tahap ini, pemahaman anak sangat bergantung pada
kegiatan (gerakan) tubuh dan alat-alat indera mereka.
2. tahap pra-operasional (2–7
tahun)
Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih
sangat dipengaruhi oleh hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan
indera, sehingga ia belum mampu untuk melihat hubungan-hubungan dan
menyimpulkan sesuatu secara konsisten
3. tahap operasional konkret
(7–11 tahun)
Pada tahap Operasional konkret (7-11 tahun), umumnya anak sedang
menempuh pendidikan di sekolah dasar. Di tahap ini, seorang anak dapat membuat
kesimpulan dari suatu situasi nyata atau dengan menggunakan benda konkret, dan
mampu mempertimbangkan dua aspek dari suatu situasi nyata secara bersamasama
(misalnya, antara bentuk dan ukuran).
4. tahap operasional formal
(lebih dari 11 tahun)
Pada tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun), kegiatan
kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Tahap ini merupakan
tahapan terakhir dalam perkembangan kognitif. (Doyin, 2015)
II. PERKEMBANGAN
FISIK PESERTA DIDIK
Kuhlen dan Thompson mengemukakan bahwa perkembangan fisik
individu meliputi empat aspek, yaitu:
(a) Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan
kemampuan motorik;
(b) Sistem syaraf yang sangat memengaruhi perkembangan
kecerdasan dan emosi;
(c) Kelenjar Endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola
tingkah laku baru, seperti pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk
aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis;
(d) Struktur fisik/tubuh, yang meliputi tinggi, berat, dan
proporsi.
Seifert dan Hoffnung (1994) berpendapat perkembangan fisik
meliputi perubahan-perubahan dalam tubuh (seperti : pertumbuhan otak, sistem
saraf, organ-organ indrawi, pertambahan tinggi dan berat, hormon, dan
lain-lain), dan perubahan-perubahan dalam cara individu dalam menggunakan
tubuhnya (seperti perkembangan keterampilan motorik dan perkembangan seksual),
serta perubahan dalam kemampuan fisik (seperti penurunan fungsi jantung,
penglihatan, dan sebagainya).
III. PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL PESERTA DIDIK
Selain perkembangan karakteristik fisik dan kognitif peserta
didik, yang tidak kalah penting adalah perkembangan sosial-emosional peserta
didik. Sosio-emosional berasal dari kata sosial dan emosi. Perkembangan sosial
adalah pencapaian kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial. Dapat juga
diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma
kelompok, tradisi dan moral agama. Sedangkan emosi merupakan faktor dominan
yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku
belajar. Emosi dibedakan menjadi dua, yakni emosi positif dan emosi negatif.
Emosi positif seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat, atau rasa ingin
tahu yang tinggi akan mempengaruhi individu untuk mengonsentrasikan dirinya
terhadap aktivitas belajar. Emosi negatif sperti perasaan tidak senang, kecewa,
tidak bergairah, individu tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar,
sehingga kemungkinan besar dia akan mengalami kegagalan dalam belajarnya.
Selain itu, dari segi etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa Latin
‘movere’ yang berarti ‘menggerakkan, bergerak’. Kemudian ditambah dengan awalan
‘e-‘ untuk memberi arti ‘bergerak menjauh’. Makna ini menyiratkan kesan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
Perkembangan sosio-emosional peserta didik termasuk suatu
pembahasan yang sangat penting karena dengan mengetahui perkembangan
sosio-emosional peserta didik, para pendidik dapat mengambil tindakan pada
permasalahan peserta didik dengan berbagai karakteristik dan sifat yang
berbeda-beda. Sosio-emosional adalah perubahan yang terjadi pada diri setiap
individu dalam warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku
individu. Dalam pembahasan sosio-emosional ini lebih ditekankan dalam
sosioemosional pada remaja. Pada masa remaja, tingkat karakteristik emosional
akan menjadi drastis tingkat kecepatannya. Gejala-gejala emosional para remaja
seperti perasaan sayang, cinta dan benci, harapan-harapan dan putus asa, perlu
dicermati dan dipahami dengan baik. Sebagai pendidik. kita harus mengetahui
setiap aspek yang berhubungan dengan perubahan tingkah laku dalam perkembangan
remaja, serta memahami aspek atau gejala tersebut sehingga kita bisa melakukan
komunikasi yang baik dengan remaja. Perkembangan emosi remaja merupakan suatu
titik yang mengarah pada proses dalam mencapai kedewasaan. Meskipun sikap
kanak-kanak akan sulit dilepaskan pada diri remaja karena pengaruh didikan
orang tua.
Faktor yang sangat memengaruhi perkembangan peserta didik pada
usia remaja yaitu didikan orang tua, lingkungan sekitar tempat tinggal dan
perlakuan guru di sekolah. Pengaruh sosio-emosional yang baik pada remaja
terhadap diri sendiri yaitu untuk mengendalikan diri, memutuskan segala sesuatu
dengan baik, serta bisa lebih merencanakan segala hal yang akan diputuskannya,
sedangkan terhadap orang lain, yaitu mampu menjalin kerjasama yang baik, saling
menghargai dan mampu memposisikan diri di lingkungan dengan baik. Agar seorang
peserta didik dapat memiliki kecerdasan emosi dengan baik haruslah dibentuk
sejak usia dini, karena pada saat itu sangat menentukan pertumbuhan dan
perkembangan manusia selanjutnya. Sebab pada usia ini dasar-dasar kepribadian
anak telah terbentuk. Jelaslah sudah betapa pentingnya seorang pendidik
memahami perkembangan sosio-emosional peserta didik, agar dalam proses
pembelajaran perkembangan sosio-emosional peserta didik yang berbeda-beda dapat
diatasi dengan baik.
IV. PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK
Seto Mulyadi (2002a) menyatakan tentang Robert Coles yang
menggagas tentang kecerdasan moral yang juga memegang peranan amat penting bagi
kesuksesan seseorang dalam hidupnya. Hal ini ditandai dengan kemampuan seorang
anak untuk bisa menghargai dirinya sendiri maupun diri orang lain, memahami
perasaan terdalam orang-orang di sekelilingnya, mengikuti aturan-aturan yang
berlaku, semua ini termasuk merupakan kunci keberhasilan bagi seorang anak di
masa depan. Suasana damai dan penuh kasih sayang dalam keluarga, contoh-contoh
nyata berupa sikap saling menghargai satu sama lain, ketekunan dan keuletan
menghadapi kesulitan, sikap disiplin dan penuh semangat, tidak mudah putus asa,
lebih banyak tersenyum daripada cemberut, semua ini memungkinkan anak
mengembangkan kemampuan yang berhubungan dengan kecerdasan kognitif, kecerdasan
emosional maupun kecerdasan moralnya.
Teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral
didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap yaitu:
Penalaran prakovensional, konvensional, dan pascakonvensional.
1) Tingkat Satu: Penalaran Prakonvesional
Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah
dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak
memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan
oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.
Contoh dalam dunia pendidikan: Peserta didik mau belajar kalau
mendapatkan hadiah uang.
2) Tingkat Dua: Penalaran Konvensional
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat
menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Seorang menaati
standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati
standar-standar (internal) orang lain, seperti orangtua atau masyarakat.
Contoh: siswa di satu kesempatan mau belajar dengan tekun karena
kesadaran sendiri tetapi tidak mau menaati perintah orang tua yang mengharuskan
belajar dari pukul 19.00 sampai dengan pukul 21.00
3)
Tahap Tiga: Penalaran Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori
perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar
diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain.
Seorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan
kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
Contoh : Anak dengan penuh kesadaran menaati tata tertib sekolah
baik diawasi atau tidak, ada sanksi atau tidak.
V. BEKAL
AWAL PESERTA DIDIK
Bekal ajar awal peserta didik dapat pula diartikan kemampuan
awal (entry behavior)
adalah kemampuan yang yang telah diperoleh peserta didik sebelum
dia memperoleh kemampuan terminal tertentu yang baru. Kemampuan awal
menunjukkan status pengetahuan dan keterampilan peserta didik sekarang untuk
menuju ke status yang akan datang yang diinginkan guru agar tercapai oleh
peserta didik. Dengan kemampuan ini dapat ditentukan darimana pengajaran harus
dimulai.
Identifikasi bekal ajar awal peserta didik bertujuan untuk:
1) Memperoleh informasi yang lengkap dan akurat berkenaan dengan
kemampuan awal peserta didik sebelum mengikuti program pembelajaran tertentu;
2) Menyeleksi tuntutan, bakat, minat, kemampuan serta
kecendrungan peserrta didik berkaitan dengan pemilihan program program
pembelajaran tertentu yang akan diikuti mereka; dan
3) Menentukan desain program pembelajaran dan atau pelatihan
tertentu yang perlu dikembangkan sesuai dengan kemampuan awal peserta didik.
Teknik Mengaktifkan Bekal Ajar Awal Peserta Didik
untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik, seorang pendidik dapat
melakukan tes awal (pre-test). Tes yang diberikan dapat berkaitan dengan materi
ajar sesuai dengan panduan kurikulum. Selain itu pendidik dapat melakukan
wawancara, observasi, dan memberikan kuisioner kepada peserta didik atau calon
peserta didik, serta guru yang biasa mengampu pelajaran tersebut. Teknik yang
paling tepat untuk mengetahui bekal ajar awal peserta didik yaitu tes. Teknik
tes ini menggunakan tes prasyarat dan tes awal. Sebelum memasuki pelajaran
sebaiknya guru membuat tes prasyarat dan tes awal. Tes prasyarat adalah tes
untuk mengetahui apakah peserta didik telah memiliki pengetahuan keterampilan
yang diperlukan atau di syaratkan untuk mengikuti suatu pelajaran. Sedangkan
tes awal adalah tes untuk mengetahui seberapa jauh siswa telah memiliki
pengetahuan atau keterampilan mengenai pelajaran yang hendak diikuti. Benjamin
S. Bloom melalui beberapa eksperimen membuktikan bahwa “untuk belajar yang
bersifat kognitif apabila pengetahuan atau kecakapan pra syarat ini tidak
dipenuhi, maka betapa pun kualitas pembelajaran tinggi, maka tidak akan
menolong untuk memperoleh hasil belajar yang tinggi”. Hasil pretest juga sangat
berguna untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan yang dimiliki dan sebagai
perbandingan dengan hasil yang dicapai setelah mengikuti pelajaran. Jadi
kemampuan awal sangat diperlukan untuk menunjang pemahaman siswa sebelum diberi
pengetahuan baru karena kedua hal tersebut saling berhubung.
VI. MENGIDENTIFIKASI DAN MENGATASI KESULITAN BELAJAR SISWA
A. Pengertian Kesulitan Belajar Siswa
Hamalik (hal: 1983) menyatakan kesulitan belajar dapat diartikan
sebagai keadaan di mana peserta didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya.
Keadaan tersebut tidak bisa diabaikan oleh seorang pendidik karena dapat
menjadi penghambat tujuan pembelajaran. Kesulitan belajar tidak hanya
disebabkan oleh faKtor intelegensi yang rendah, akan tetapi bisa disebabkan
oleh faktor-faktor nonintelegensi. Oleh karena itu, IQ yang tinggi belum tentu
menjamin keberhasilan belajar. Wood (2007:33) menyatakan kesulitan belajar
adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya
hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan-hambatan
tersebut diakibatkan oleh faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik
maupun luar diri peserta didik.
B. Jenis-Jenis Kesulitan Belajar Siswa
Empat jenis kesulitan/gangguan belajar dalam perkembangan
seorang anak:
1. Kesulitan belajar akademis, meliputi
kesulitan membaca, kesulitan menulis, dan kesulitan berhitung.
2. Gangguan simbolik, yaitu
ketidakmampuan anak untuk dapat memahami suatu obyek sekalipun ia tidak
memiliki kelainan pada organ tubuhnya.
3. Gangguan nonsimbolik, yaitu
ketidakmampuan anak untuk memahami isi pelajaran karena ia mengalami kesulitan
untuk mengulang kembali apa yang telah dipelajarinya.
4. Ganguan sosial-emosional, yaitu
gangguan yang berasal dari lingkungan dan emosi dalam diri anak.
C. Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Siswa
Penyebab kesulitan belajar antara lain sebagai berikut.
1. Faktor intelektual, yaitu inteligensi yang rendah dan
terbatas;
2. Faktor kondisi fisik dan kesehatan, termasuk kondisi
kelainan, seperti kurangnya gizi pada ibu hamil, bayi dan anak, kerusakan
susunan dan fungsi otak, dan penyakit persalinan;
3. Faktor sosial,seperti pengaruh teman bermain, pergaulan dan
lingkungan sekitar;
4. Faktor keluarga, seperti keadaan keluarga yang tidak baik dan
kurangnya dukungan belajar dari orang tua.
D. Cara Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
Cara mengatasi mengatasi kesulitan belajar adalah sebagai
berikut.
1. tempat duduk siswa
Anak yang mengalami kesulitan pendengaran dan penglihatan
hendaknya mengambil posisi tempat duduk bagian depan.
2. Gangguan kesehatan
Anak yang mengalami gangguan kesehatan sebaiknya diistirahatkan
di rumah dengan tetap memberinya bahan pelajaran dan dibimbing oleh orang tua
dan keluarga lainnya.
3. Program remedial
Siswa yang gagal mencapai tujuan pembelajaran akibat gangguan
internal, perlu ditolong dengan melaksanakan program remedial.
4. Bantuan media dan alat peraga
Penggunaan alat peraga pelajaran dan media belajar kiranya cukup
membantu siswa yang mengalami kesulitan menerima materi pelajaran.
Misalnya, karena materi pelajaran bersifat abstrak sehingga sulit
dipahami siswa.
5. Suasana belajar menyenangkan
Suasana belajar yang nyaman dan menggembirakan akan membantu
siswa yang mengalami hambatan dalam menerima materi pelajaran.
E. Rancangan Kegiatan Mengatasi Kesulitan Belajar Peserta Didik
Rancangan mengatasi kesulitan belajar peserta didik dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar
dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut : (1) Identifikasi
kasus; Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan
layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003)
memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang
diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar. (2) Call them approach; melakukan
wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara
ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
(3) Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat
dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan
kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler,
rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya. (4) Developing a desire for
counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan
masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang
bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat,
dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai
tindak lanjutnya. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara
ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang
dihadapi siswa. (5) Melakukan analisis sosiometris; dengan cara ini dapat
ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan Penyesuaian social
2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik
kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks proses belajar
mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial –
material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d)
personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah
mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang
disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk
mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani
dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan;
(e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan
moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu
senggang.
3. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih
berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan
dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat
dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika
permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan
lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya
membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
Sumber Pustaka
Doyin, Mukh dan Supriyono. 2015. Materi UKG Bahasa
Indonesia 2015. Semarang: Bandungan Institute
Wibowo, Hari dkk. 2016. Karakteristik Peserta Didik.
Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Bahasa, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan
No comments:
Post a Comment