.

Saturday 29 March 2014

Guru Dilarang Rangkap Jabatan Jadi Dosen

Guru Dilarang Rangkap Jabatan Jadi Dosen
Solopos.com, SOLO — Rangkap jabatan guru dan dosen tetap kini dilarang. Langkah ini untuk menghindari tunjangan profesi ganda. Kebijakan ini menuntut guru maupun dosen untuk memilih salah satu jabatan.

Kepala Lembaga Kerjasama dan Informasi (LKI) Universitas Tunas Pendidikan (UTP), Joko Riyanto, mengatakan kebijakan tersebut  membuat pihaknya makin selektif dalam menerima dosen baru. Ia menjelaskan kini Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan (FKIP) tak bisa lagi mengangkat guru tetap untuk menjadi dosen tetap.

Pasalnya, guru tetap biasanya memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), sementara dosen memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). Seseorang yang sudah memiliki NUPTK tak bisa diterima dalam sistem Kemendikbud untuk NIDN.

“Sistem memang sudah terintegrasi, sehingga saat dosen yang akan didaftarkan ternyata sudah memiliki NUPTK, sistem akan menolak. Begitu juga bagi dosen yang ternyata didaftarkan NIDN di dua PTN atau PTS tertentu, maka sistem akan menolaknya juga. Kami juga pernah mengalami itu, nama dosen langsung mental sehinga kami harus meminta konfirmasi kepada yang bersangkutan. Memang dua tahun terakhir seleksi semakin ketat,” terangnya kepada wartawan, Sabtu (8/2/2014).
UTP, lanjutnya, mendukung langkah pemerintah ini, toh tuntutan sertifikasi dosen semakin berat. Menurutnya, dalam satu semester, dosen harus memenuhi 12 angka kredit terkait pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat, dan penunjang.  Masing-masing tahapan dosen yakni asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar memiliki proporsi tugas masing-masing terhadap angka kredit tersebut.

“Sehingga tuntutan dosen selain pengajaran juga harus aktif menulis, dan menjadi pemateri dalam seminar serta sejumlah tugas lain. Walaupun tugas dosen semakin berat tetapi berkorelasi dengan capaian akreditasi institusi,” ujarnya.
Selain itu, dosen PNS membuat Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) tahunan. Semua dosen yang memiliki NIDN juga harus membuat laporan kinerja dosen tahunan dalam Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen (SIPKD). Selain itu, dosen minimal lulusan S2 atau pendidikan magister yang linear.

“Akhirnya, dosen harus memilih apakah jadi guru atau dosen, mau NUPTK atau NIDN,” terangnya.
Di UTP, lanjutnya, memang masih ada tenaga guru yang menjadi dosen luar biasa, namun sifatnya hanya membantu.  “Kalau ada mata kuliahnya bisa masuk. Minimal mereka sudah magister, tetapi berarti tidak bisa menjadi dosen tetap,” terangnya lagi.

Ihwal jumlah dosen yang telah memiliki NIDN di UTP, Joko mengatakan dari 190 dosen, sudah 150 dosen yang telah memiliki NIDN.

Sementara itu, Ketua Majelis Pendidikan  Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah , Joko Riyanto, mengatakan dobel profesi dosen dan guru tidak masalah selama guru tersebut tidak terikat sertifikasi. Hal ini karena guru memiliki NUPTK ,sementara dosen memiliki NIDN. Saat guru tetap merangkap menjadi dosen tetap, maka akan berbenturan dalam hal tunjangan sertifikasi dalam waktu tertentu. “Jadi memang harus memilih salah satunya saja,” ujar dia.
Namun pimpinan di sekolah jangan melarang guru yang ingin mendapat gelar magister hanya gara-gara kebijakan ini. Di lingkungan Muhammadiyah, guru yang ingin meraih gelar magister sangat didukung karena sejalan dengan peningkatan kualitas.
Sumber: Solopos

No comments:

Post a Comment